Doa dan isi kepala yang entah

Tiap sebelum mata ku pejam
Doa-doa ku panjatkan
Teruntuk ayah, teruntuk ibu
Juga segenap keluarga dan kerabat dekat

Betapa jauh jarak
Betapa berat rindu dijajal

Sudahkah kita saling belajar
Ataukah masih saling menyalahkan?
Menghajar satu sama lain
Berebut siapa yang paling handal

Doa-doa terpental
Rindu dipintal

Dan temu pun menjadi hambar
Dekap tak lagi hangat
Kita sibuk dengan isi kepala kita masing-masing
Kita resah dan cemas tentang esok hari

Tuhan sebenarnya ada dimana?
Bagaimana kalau bahagia itu sejatinya adalah surga
dan neraka tidak lain ialah apa-apa yang menjadi sumber kesedihan kita hari-hari sekarang ini?

Bagaimana kalau rasa itu, adalah doa kita yang sesungguhnya?
Kata-kata hanyalah perantaranya saja.
Tetapi muatannya adalah emosi, rasa itu sendiri.
Bagaimana?

Sementara ketenangan kian jauh
Salat dan mengaji masih tidak cukup menjadi jalan
Sebab ia masih sebatas ritual belaka, dilakukan atas dasar keterpaksaan saja
Karena takut siksa api neraka

Lalu dimanakah letaknya cinta?
Oh, masih sangatlah jauh
Anak baru kemarin sore, mana pantas bicara cinta kelas para ulama yang wali?

Anak baru kemarin sore tidak pantas membicarakan
apalagi mengorek segala isi hati dan perasaan tiap-tiap orang.
Biar itu urusan para kiai, orangtua, sesepuh, dan penceramah yang lagi viral-viral itu.

Padahal untuk menghadap tuhan, bukankah kita hanya perlu berterus-terang?
Tidak pura-pura. Toh, tuhan tahu apa yang kau nyatakan atau sembunyikan dalam hatimu.

Lantas kenapa mesti pakai perantara segala ustadz dan ustazah. Mesti pakai ulama, tokoh masyarakat, menteri dan presiden segala? Aku hanya ingin menghadap tuhan kok dibuat repot begini?

Maka aku putuskan untuk meneliti hatiku sendiri. Menggalinya, mencari barangkali cinta letaknya disana. Aku ingin melakukan segala ritual ibadah yang diajarkan agamaku dengan cinta. Sebab aku sudah bosan melakukannya setiap hari tapi tidak merasakan apa-apa. Barangkali kalau pakai cinta, rasanya akan beda.

Tapi guru agamaku di sekolah dulu tidak mengajari kami kalau salat dan mengaji mesti pakai cinta. Tetapi kalian semua pokoknya salat saja, mengaji saja, sebab kalau tidak, kalian akan disiksa. Boro-boro cinta, aku jadi takut sama tuhan.
Hiiiiiis, kejam.

Dan kembali kepada doa
Tiap malam sebelum mata ku pejam
Tak lupa selalu kubacakan mantra
Ku hantarkan segala rasa yang bergejolak di dada

Yang bising di kepala
Tentang ayah, ibu, dan keluarga
Juga tetangga, kepala desa beserta anak buahnya, camat, bupati, gubernur, walikota, kalau sempat semoga sampai juga ke presiden dan juru bicaranya

Semoga yang diberitakan di televisi adalah berita tentang kemaharomantisannya tuhan dengan segala kejutan-kejutan-Nya. Bahwa tuhan tidak sekejam yang diajarkan guru agama di sekolah dulu. Bahwa tidak perlu mati dulu baru merasakan neraka. Sekarang, di dunia pun kalau kau menyimpan dendam di hatimu, itu sama saja dengan kau menghidupkan api neraka dalam dadamu sendiri. Yang hangus ialah dirimu sendiri.

Bahwa untuk merasakan nikmatnya surga, tidak mesti nanti di akhirat. Sekarang pun di dunia, kalau  kemana-mana kau tebar cinta, kau tebar kebajikan, kau tanamkan kebaikan, itu sama saja dengan kau memelihara mata air surga yang mengalir di hatimu. Yang sejuk tidak lain ialah dirimu sendiri dan lingkungan dimanapun kau berada. Segala orang nyaman berdekat-dekatan denganmu. Tatap matamu teduh menenangkan. Senyummu aduhai, menggetarkan hati tiap-tiap jiwa. Lisanmu mencerahkan. Hadirmu dinantikan. Kalau sudah begitu, maka nikmat tuhanmu yang manakah lagi yang kau dustakan?

Ditulis dalam masa pandemi
Oleh: @ibunyapuisi – Hestis Ali
Perempuan dengan segala rupa gejolak di dadanya, beribu macam pertanyaan di kepalanya | ☕ | Puisi | Hening sendiri
Yogyakarta, 2020

2 tanggapan untuk “Doa dan isi kepala yang entah”

Tinggalkan komentar